Malam ini agak gemes saya melihat Indonesia Lawyer Club.
Mereka pro rokok, mereka bilang orang Indonesia cukup toleransi untuk tidak merokok di tempat umum.
Yang bilang itu om pengacara. Dengan percaya diri tentunya (karena sikap seorang pengacara pakemnya seperti itu), dia bilang saya tidak pernah merokok di depan anak saya atau keluarga saya, bahkan di tempat yang tidak ada larangan merokoknyapun seperti di tempat ini (ruangan diskusi ILC malam ini) saya buktinya juga tidak merokok. Om, dengan sangat rendah hati saya bertanya. Seringkah pasti jawabannya tidak, mungkin lebih tepatnya pernahkah om naik bis kota atau angkot? Yang om rasakan selalu dinginnya AC mobil pribadi om yang isinya juga paling hanya om dan supir, mana mungkin supir om mau merokok di dalam mobil ber Ac yang ada om pecat dia. Om, sejak lahir saya terbiasa naik angkot dan bis kota hampir tiap hari. Dan hampir tiap hari itu saya menerima paparan asap rokok. Saya beri sinyal paling halus menutupi hidung dengan tangan, mereka tetap asik merokok, saya beri isyarat lain dengan batuk-batuk dia semakin kuat menghembuskan asap rokoknya, sampai akhirnya saya bilang bisa dimatikan rokoknya? Dia suruh saya turun dari angkot. Tahu om apa rasanya? Rasanya saya tidak punya hak untuk menghirup udara yang bersih di negara ini. Saya rasa ini juga bukan hanya tentang saya karena jumlah pengguna kendaraan umum ribuan. Mobil pribadi itu masih jadi barang mewah di negara ini om.
Parahnya, sekarang ini saya cenderung parno dengan asap rokok.
Mereka yang pro rokok bilang ada indikasi disusupi oknum dalam pembuatan RPP mengenai rokok
Saya sendiri seorang yang agak antipati dengan aturan-aturan pemerintah yang sering gonta ganti dengan alasan yang terlalu macam-macam. Terserahlah apa kata teman-teman tentang oknum di balik RPP itu. Yang jelas ketika tidak ada toleransi dari perokok aktif dalam ‘bersedekah penyakit’ maka memang harus ada aturan yang memaksa agar perokok tidak merokok di tempat umum. Permintaan saya nyata “Tidak ada lagi orang yang merokok di fasilitas umum” terserah bentuk peraturannya seperti apa. Aturan denda sudah sering saya lihat di banyak fasilitas umum lalu apa nyatanya? Nyatanya mereka seakan buta huruf, penindak hukum pun tidak ada yang menindak pelanggaran tersebut. Bahkan di kampus tempat saya bekerja pun yang ada larangan merokoknya tetap saja ada yang merokok. Saking kesalnya saya pernah marahi mahasiswa saya yang merokok di tempat umum, anak farmasi pula malu-maluin mendingan keluar dari farmasi (maaf saya agak keras, tapi nyatanya seorang farmasis nantinya diharapkan akan melanjutkan ke jenjang apoteker. Setelah itu mereka akan disumpah berdasarkan agamanya masing-masing. Dalam lafal yang pertama dikatakan bahwa apoteker berSUMPAH akan membaktikan hidup bidang kemanusiaan terutama bidang kesehatan. Bagaimana mau membaktikan diri di bidang kesehatan . Menghargai kesehatan orang lain saja tidak bisa).
Saya dapat cerita dari pacar kakak sepulang dari Jepang, dia bilang orang Jepang sangat taat dengan merokok di tempat yang ditentukan. Tempat merokoknyapun dibuat sangat kecil dan tidak nyaman. Hal itu dilakukan untuk menekan jumlah perokok . Lucunya orang Indonesia justru merasa perokok hak nya tidak dihargai dengan menyediakan tempat merokok yang tidak nyaman.
Mereka bilang kenapa rokok dilarang karena beresiko terhadap kesehatan sedangkan lemak, keju, jeroan yang juga mengakibatkan penyakit tidak dibatasi?
Mas, pak, bu, mbak,,saya pun ga protes ketika rokok hanya beresiko menyebabkan penyakit terhadap yang menghisap tapi jelas nyata kejadiannya bahwa rokok itu juga bersedekah penyakit pada orang yang tidak merokok tapi menghirup asapnya.
Saya tidak membenci perokok tapi masalahnya sebagian besar perokok yang saya temui tidak memiliki toleransi. Diskusinya semakin ruwet menurut saya. Saya sebagai penonton yang tidak bisa menyuarakan apapun malam ini membayangkan bagaimana jika di akhir diskusi ini doronglah seorang pasien yang menderita kanker paru-paru karena menjadi perokok pasif. Tampilkanlah slide-slide yang menunjukkan perokok pasif yang terkena kanker dan harus mendapat kemoterapi, ceritakanlah betapa sakitnya kemoterapi itu, lalu ketika seseorang didiagnosis sakit karena menjadi perokok pasif kepada ASAP YANG MANAKAH DIA HARUS MENUNTUT? Kepada ROKOK YANG MANAKAH DIA HARUS MEMINTA KESEMBUHAN? Kepada MANUSIA YANG MANAKAH DIA HARUS MEMINTA TANGGUNGAN BIAYA PENGOBATAN?
Saya menghormati para petani tembakau dan berharap pertanian mereka semakin maju tapi semoga bukan lewat produksi rokok yang luar biasa semakin meningkat dan linear dengan peningkatan penderita penyakit kanker. Semoga teman-teman yang sedang mempelajari kloning dan semacamnya dapat semakin mengembangkan teknologi tanaman transgenik sehingga petani tembakau pun tidak perlu takut darpurnya tidak mengepul lagi karena pembatasan penggunaan rokok/tembakau.
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment